Konflik antara Petani dan Perhutani: Perebutan Lahan di Sumatera Utara

Konflik antara petani dan Perhutani adalah isu agraria yang terus berulang, terutama marak terjadi di Sumatera Utara. Sengketa ini melibatkan klaim lahan garapan petani yang berada di dalam kawasan hutan yang dikelola oleh Perhutani. Konflik antara kedua belah pihak ini seringkali berujung pada pengusiran paksa petani, menyebabkan kerugian ekonomi dan penderitaan sosial bagi komunitas yang menggantungkan hidup pada lahan tersebut.

Akar masalah konflik antara petani dan Perhutani seringkali berawal dari tumpang tindihnya regulasi. Di satu sisi, ada peraturan kehutanan yang menetapkan batas-batas kawasan hutan negara. Di sisi lain, ada masyarakat yang sudah puluhan tahun mengelola lahan tersebut secara turun-temurun, bahkan sebelum penetapan kawasan hutan, sehingga menjadi sulit untuk menyelesaikan masalah ini.

Bagi petani, lahan yang mereka garap bukan hanya sumber penghidupan, melainkan juga warisan dan identitas. Mereka merasa memiliki hak atas tanah tersebut berdasarkan sejarah pengelolaan dan kearifan lokal. Namun, dari perspektif Perhutani, lahan tersebut adalah bagian dari kawasan hutan negara yang harus dilindungi sesuai undang-undang yang berlaku.

Dampak dari konflik antara ini sangat merusak. Pengusiran paksa membuat petani kehilangan mata pencarian, rumah, dan stabilitas hidup. Konflik yang berkepanjangan juga dapat memicu ketegangan sosial, bahkan kekerasan, di antara masyarakat dan aparat, yang dapat memengaruhi kesejahteraan dan keamanan masyarakat sekitar secara menyeluruh.

Di Sumatera Utara, konflik antara petani dan Perhutani seringkali menjadi isu yang sangat sensitif karena jumlah lahan hutan yang luas dan tingginya angka ketergantungan masyarakat pada sektor pertanian. Pemerintah daerah menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan antara konservasi hutan dan pemenuhan hak-hak dasar petani yang sudah mendiami lahan tersebut.

Penyelesaian konflik antara petani dan Perhutani memerlukan pendekatan yang komprehensif dan berkeadilan. Pemerintah harus mengkaji ulang batas-batas kawasan hutan, melakukan identifikasi dan verifikasi kepemilikan lahan secara partisipatif, serta mengakui keberadaan masyarakat adat dan lokal yang telah lama mengelola lahan di kawasan tersebut.

Mekanisme perhutanan sosial atau kemitraan konservasi dapat menjadi solusi alternatif. Ini memungkinkan petani untuk tetap mengelola lahan di dalam atau sekitar kawasan hutan dengan cara yang berkelanjutan, sejalan dengan tujuan konservasi, dan di bawah pengawasan yang jelas. Pendekatan ini mengakui hak-hak petani sekaligus menjaga kelestarian hutan.