Di tengah hiruk pikuk modernitas, gaya hidup santri di pondok pesantren Indonesia menawarkan sebuah potret kehidupan yang kontras: fokus pada pendidikan agama, menjunjung tinggi kesederhanaan, dan dedikasi penuh pada ilmu. Ribuan pesantren tersebar di seluruh nusantara, menjadi garda terdepan dalam membentuk karakter generasi muda Muslim yang berakhlak mulia dan berilmu.
Pusat dari gaya hidup santri adalah pendidikan agama yang intensif. Sejak bangun tidur hingga kembali terlelap, setiap aktivitas santri terbingkai dalam rutinitas belajar dan beribadah. Mereka menghafal Al-Qur’an (tahfidz), mengkaji kitab kuning yang berisi berbagai disiplin ilmu agama seperti fiqih, tafsir, hadis, nahwu, sharaf, dan akhlak. Pembelajaran tidak hanya terjadi di kelas, tetapi juga melalui pengajian kitab di masjid, diskusi antarsantri, serta bimbingan langsung dari kiai atau ustaz. Lingkungan pesantren yang kondusif memungkinkan santri untuk benar-benar mendalami ajaran Islam secara komprehensif.
Selain fokus pada ilmu agama, gaya hidup santri juga sangat menekankan kesederhanaan. Santri belajar hidup mandiri dengan fasilitas yang tidak mewah. Kamar tidur yang sederhana, seringkali berupa asrama dengan kasur tipis dan lemari seadanya, mengajarkan mereka untuk tidak terikat pada materi. Makanan yang disajikan pun biasanya sederhana, namun cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi. Pakaian yang dikenakan pun seragam, menghilangkan kesenjangan sosial berdasarkan status ekonomi. Kesederhanaan ini bukan hanya tentang keterbatasan fasilitas, melainkan filosofi untuk melatih jiwa agar tidak terlena oleh dunia, serta menumbuhkan rasa syukur dan qana’ah (merasa cukup).
Spirit kebersamaan dan kemandirian juga sangat kental dalam kehidupan santri. Mereka belajar hidup berdampingan dengan teman-teman dari berbagai latar belakang, saling membantu dalam belajar dan kegiatan sehari-hari. Tugas-tugas kebersihan, memasak (bagi beberapa pesantren), dan berbagai kegiatan pondok seringkali dilakukan secara gotong royong. Ini membentuk karakter santri yang adaptif, toleran, dan memiliki rasa tanggung jawab sosial yang tinggi. Kemandirian juga dilatih melalui pengelolaan keuangan pribadi yang terbatas dan penyelesaian masalah tanpa bergantung pada orang tua.
Meskipun terkesan tradisional, banyak pesantren kini juga mulai mengintegrasikan pendidikan umum dan keterampilan hidup, seperti bahasa asing, komputer, bahkan kewirausahaan, tanpa mengurangi esensi pendidikan agama. Hal ini bertujuan untuk membekali santri agar siap menghadapi tantangan zaman dan berkontribusi di masyarakat luas setelah lulus.