Banjir Bandang di Banjarnegara: Ribuan Warga Mengungsi, Infrastruktur Hancur, dan Upaya Pemulihan yang Menjadi Sorotan

Banjir Bandang Terparah dalam Dekade Terakhir
Banjir bandang yang melanda Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, pada Kamis dini hari (26/10/2023), disebut sebagai bencana terburuk dalam 10 tahun terakhir. Hujan deras selama 12 jam nonstop memicu aliran lumpur dan batu dari lereng Gunung Slamet yang menerjang 15 desa di Kecamatan Wanayasa dan Pagentan. Menurut laporan sementara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), lebih dari 5.200 warga mengungsi ke posko darurat, 3.000 rumah terendam air setinggi 2-3 meter, dan 12 jembatan penghubung antardesa putus total. Korban jiwa tercatat 7 orang, sementara 15 lainnya masih dinyatakan hilang.

Penyebab dan Dampak Kerusakan
Berdasarkan analisis sementara BNPB, banjir bandang ini dipicu oleh kombinasi faktor cuaca ekstrem dan kerusakan lingkungan di hulu sungai. Curah hujan mencapai 250 mm/hari, jauh di atas ambang batas normal musim penghujan. Selain itu, alih fungsi lahan di lereng Gunung Slamet untuk perkebunan monokultur diduga memperparah erosi. Material tanah, kayu, dan sampah yang terbawa arus menghancurkan rumah, sekolah, pasar tradisional, serta lahan pertanian seluas 120 hektar. Ribuan hewan ternak ikut hanyut, dan akses logistik terhambat akibat jalan provinsi yang tertutup longsor.

“Ini bukan sekadar bencana alam, tapi juga dampak dari lemahnya pengawasan tata ruang. Kawasan resapan air di hulu sudah beralih fungsi selama bertahun-tahun,” ujar Ahmad Riyadi, pakar hidrologi Universitas Diponegoro, dalam wawancara via telekonferensi.

Respons Darurat dan Tantangan Evakuasi
Tim gabungan SAR, TNI, Polri, dan relawan lokal dikerahkan untuk mengevakuasi warga yang terisolasi. Helikopter dikirim untuk menjangkau desa-desa di lereng yang terputus jalur darat. Namun, cuaca buruk dan arus deras menghambat operasi penyelamatan. “Kami kesulitan membawa perahu karet karena banyak puing bangunan dan pohon tumbang di aliran sungai,” keluh Sutrisno, koordinator relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT) di lokasi.

Posko pengungsian darurat didirikan di balai desa dan sekolah yang masih aman. Kebutuhan utama seperti makanan instan, air bersih, selimut, dan obat-obatan mulai menipis. Puluhan korban luka-luka dibawa ke rumah sakit terdekat, meski beberapa fasilitas kesehatan di wilayah terdampak juga tergenang.

Kisah Pilu Warga: “Semua Hilang dalam Sekejap”
Siti Rohmah (45), warga Desa Kalitengah, menuturkan bagaimana ia kehilangan rumah dan sawah yang menjadi sumber penghidupannya. “Air datang tiba-tiba pukul 3 pagi. Kami lari hanya dengan baju yang melekat. Kini tak tahu harus mulai dari mana,” ujarnya sambil menahan tangis di posko pengungsian.

Kisah serupa datang dari Slamet Riyadi (50), petani yang kehilangan seluruh ternak kambingnya. “Puluhan ekor kambing hanyut. Saya sudah 20 tahun beternak, tapi dalam satu murah semuanya lenyap,” katanya.

Pemerintah Pusat dan Daerah Kerahkan Bantuan
Gubernur Jawa Tengah, Nana Sudjana, menyatakan status tanggap darurat akan berlaku selama 14 hari ke depan. Pemerintah provinsi mengalokasikan dana darurat Rp50 miliar untuk logistik dan perbaikan infrastruktur awal. Presiden Joko Widodo juga telah memerintahkan Kementerian PUPR untuk segera membuka akses jalan dan menjajaki pembangunan tanggul penahan banjir.

“Kami akan audit seluruh izin penggunaan lahan di kawasan hulu. Jika ada pelanggaran, sanksi tegas akan diberikan,” tegas Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, dalam konferensi pers terpisah.

Kritik dan Desakan dari Aktivis Lingkungan
Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Banjarnegara mendesak pemerintah mengevaluasi izin perkebunan dan pertambangan di wilayah hulu. Data Walhi Jawa Tengah mencatat, 40% kawasan lereng Gunung Slamet telah dialihfungsikan untuk industri ekstraktif dalam 5 tahun terakhir. “Bencana ini adalah alarm. Jika tak ada perubahan kebijakan, kejadian serupa akan terulang,” tegas Dian Pratama, juru kampanye Walhi.

Masa Depan Banjarnegara: Antara Rehabilitasi dan Ancaman Bencana Berulang
Pakar tata kota dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof. Ahmad Syafrudin, menyarankan pemerintah melakukan relokasi permanen warga yang tinggal di zona rawan. “Pembangunan kembali harus mempertimbangkan mitigasi jangka panjang, seperti penanaman vegetasi penahan erosi dan sistem peringatan dini,” paparnya.

Sementara itu, warga yang terdampak masih menunggu kepastian bantuan pemulihan. BNPB memperkirakan, kerugian material akibat bencana ini mencapai Rp300 miliar. Pemulihan total diperkirakan memakan waktu minimal 2 tahun.